Ekonom Sebut, Suku Bunga SRBI Cenderung Turun Lebih Besar Dibanding BI-Rate

16 Agustus 2024, 11:00 WIB
Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman usai menghadiri Pemaparan Prospek Ekonomi dan Kinerja Keuangan Citi Indonesia Triwulan II-2024 di Jakarta, Kamis 15 Agustus 2024. /ANTARA/Rizka Khaerunnisa/

JABARINSIGHT - Saat ini terdapat kecendrungan tren suku bunga SRBI yang naik jauh lebih tinggi dibanding kenaikan BI-Rate pada saat BI menaikkan suku bunga acuannya baik pada Oktober tahun lalu maupun April tahun ini.

Hal tersebut kata Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman membuat tingkat penurunan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 12 bulan akan lebih besar dibandingkan suku bunga acuan BI atau BI-Rate yang diperkirakan turun sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024.

“Sehingga perkiraan kami, ketika suku bunga BI bergerak turun, maka yang akan terjadi adalah suku bunga SRBI-nya yang akan turun lebih banyak dibandingkan dengan BI Rate-nya,” katanya saat pemaparan prospek ekonomi di Jakarta, Kamis 15 Agustus 2024.

Helmi mengatakan, suku bunga SRBI tenor 12 bulan juga sudah turun selama beberapa minggu terakhir kira-kira sebesar 25 bps dari 7,5 persen menjadi berada di kisaran 7,25 persen.

Apabila BI mulai menurunkan suku bunganya pada September mendatang, ujar Helmi, maka kemungkinan BI akan menurunkan suku bunga SRBI terlebih dahulu.

Baca Juga: Gubernur BI Sebut, Bauran Kebijakan Terus Diperkuat untuk Menjaga Stabilitas

“Waktu April lalu, BI-Rate naik 25 bps, tapi suku bunga SRBI-nya naik kalau tidak salah hampir 60 bps. Jadi itu mungkin yang nanti akan berbalik. Walaupun mungkin BI-Rate turun perkiraan kami 25 bps, tapi suku bunga SRBI-nya mungkin bisa turun lebih banyak,” jelas dia.

Di sisi lain, Helmi juga mengingatkan bahwa masih ada beberapa risiko mendatang yang perlu untuk terus dipantau salah satunya terkait dengan aliran modal masuk (inflow) ke pasar keuangan Indonesia, terutama ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Pantauan terhadap data global fund flows Citi, menunjukkan bahwa aliran modal masuk ke seluruh negara-negara berkembang atau emerging market sebenarnya belum terlalu kuat secara keseluruhan.

Heimi menduga ada indikasi bahwa inflow ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat dari pergeseran posisi investor dalam portofolionya.

Baca Juga: Pelaku Ekonomi Wajib Tahu, Ini Alasan BI Pertahankan Suku Bunga BI Rate 6,25 Persen

Sementara portofolio emerging market-nya sendiri kemungkinan belum menerima inflow yang signifikan secara keseluruhan.

“Dengan demikian, implikasinya adalah keberlanjutan dari inflow ke Indonesia yang kita lihat sekarang ini mungkin akan relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi atau pergerakan harga-harga aset keuangan kita,” kata Helmi.

Selain itu, risiko eksternal yang terkait dengan Pemilu di AS juga perlu untuk terus dipantau. Pasar juga masih menantikan apakah setelah Pemilu AS tersebut akan terjadi perang tarif babak baru antara AS dengan Tiongkok.

“Sebagaimana kita lihat pada pemerintahan Donald Trump 2016-2020, setiap ada pengenaan tarif dari AS terhadap barang-barang Tiongkok itu biasanya diikuti oleh penguatan dolar karena mata uang Tiongkok atau Chinese Yuan itu terdevaluasi. Dan ini merupakan risiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang karena China merupakan jangkar bagi nilai tukar negara-negara berkembang,” jelas Helmi.

Baca Juga: ASYIK! BI Sebut QRIS Bisa Digunakan Warga Indonesia Belanja di Luar Negeri

Terakhir, risiko yang harus terus dipantau yaitu mengenai posisi investor asing di Indonesia. Helmi mengatakan, instrumen moneter jangka pendek di Indonesia kemungkinan bisa berbalik apabila suku bunga domestik bergerak turun.

“Sebagaimana kita ketahui, posisi asing di pasar instrumen keuangan jangka pendek di Indonesia ini cukup signifikan. Sehingga kalau itu berbalik, ini bisa menetralisasi dampak positif dari arus modal masuk yang sekarang mengalir ke pasar SBN,” kata Helmi.***

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Trending